Rabu, 23 November 2011

Etika Bisnis dalam Intelectual Property Rights


Etika Bisnis dalam Intelectual Property Rights


Etika bisnis menganut metode-metode dan tujuan etika normatif terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik suatu jenis pertimbangan moral tertentu, yaitu pertimbangan yang menyangkut kebijakan bisnis, norma, dan nilai bisnis. Etika ini menilai dan menentukan standar-standar moral yang sesuai dengan lingkungan spesifik dalam masyarakat modern, yaitu bisnis. Bisnis adalah bagian dari masyarakat modern, mempunyai kedalaman logika yang tepat yaitu suatu prinsip dengan rumusan :[1]
“Maksimumkan keuntungan perusahaan, kurangi biaya perusahaan.”
Etika bisnis harus menghadapi situasi yang kedalam logika rasionalitas bisnis menimbulkan ketegangan yang mungkin merugikan masyarakat moral. Etika bisnis menguraikan permintaan moral yang sah mengenai bisnis dengan mendasarkan fungsinya kepada teori yang sah mengenai hubungan antara bisnis dan masyarakat. Tujuan diperhatikan etika bisnis pada saat-saat ini adalah sebagai diagnosis dan pengobatan etika normatif umum serta menilai perilaku moral dalam lingkungan bisnis dengan menggunakan standar-standar moral yang telah disefinisikan dengan jelas, serta merinci petunjuk moral tertentu yang sesuai dengan isu bisnis yang sebenarnya.
Pada era globalisasi, etika bisnis dalam pergaulan internasional pada saat ini adalah dengan berlakunya :
a.    Soft Law. Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat internasional yang berlaku antar berbagai pihak yang sudah lama berlangsung. Misalnya kebiasaan kepercayaan yang diberikan antar pedagang dalam pelaksanaan ekspor-impor. Soft law ini tidak memiliki aturan-aturan tertulis dan hukuman-hukuman yang tregas jika suatu kebiasaan umum dilanggar. Tetapi tak jarang justru hukuman yang diterima justru lebih berat, misalnya tidak lagi diikutsertakan dan dipercaya dalam kegiatan perdagangan internasional di antara komunitas mereka.
b.    Hard Law. Berasal dari konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Negara-negara anggotanya, misalnya Konvensi GATT, WTO (Worl Trade Organization). Konvensi ini memberikan hukuman yang jelas dan tegas bagi negara-negara anggota yang melanggar ketentuan-ketentuannya. Misalnya Indonesia yang melakukan pelanggaran masalah Mobnas Timor.
 Menghormati milik orang lain termasuk “milik intelektual”, merupakan salah satu prinsip etika yang sangat penting dan harus dihormati oleh para pebisnis di seluruh dunia. Hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh orang lain, seperti menulis buku, menggubah lagu atau komposisi musik, menciptakan merek dagang, dan sebaginya harus dihormati, diakui dan dilindungi sebagai intellectual property rights. Hal ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada dasar hukumnya beralaskan pada pertimbangan nilai-nilai moral.

Agar prinsip etis ini berakar lebih kuat dalam masyarakat, maka diadakanlah persetujuan hukum tentang intellectual property rights pada taraf asional maupun internasional. Salah satu konvensi yang dilakukan adalah Konvensi Bern (tahun 1886 dan kemudian beberapa kali direvisi). Pada 15 April 1994 sejumlah 125 negara di dunia, termasuk Indonesia, menanda tangani Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan atau lebih dikenal dengan GATT (General Agreement on Traiff and Trade). Kesepaktan ini merupakan babak akhir dari serangkaian perundingan  yang dijuluki “Putaran Uruguay” (Uruguay Round). Dalam GATT ini diatur pula ketentuan  internasional bidang HAKI pada sebuah dokumen yang dinamai “Agreement on Trade Related Aspect of Intelectual Property Right  Including  Trade in Counterfeit Goods”, yang sering disingkat menjadi “TRIPS”. Tatkala GATT ini dilembagakan  menjadi WTO (Worl Trade Organization) pada Januari 1995, TRIPS diejawantahkan  pula kedalam salah satu dari 3 dewan dibawah Dewan Umum (General Council); dewan itu dinamai Dewan TRIPS.
Konvensi ini berlaku hanya bagi negara-negara yang menandatangani persetujuan yuridis ini, tetapi prinsip etisnya berlaku untuk semua orang. Di sini hukum hanya memperkuat moral, walaupun tidak berarti bahwa masyarakat sebaiknya mengundangkan seluruh moral dalam bentuk peraturan hukum. Namun hukum harus membatasi diri dengan mengatur hubungan-hubungan antar-manusia yang relevan. Atas dasar inilah kritik-kritik terhadap Intellectual Property Rights atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) muncul berkaitan dengan masalah etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar